Sabtu, 12 Mei 2012

contoh-makalah-fiqih-tentang-puasa



TUGAS KELOMPOK                                                               DOSEN PEMBIMBING
                                                                                                         Arisman, M.Sy


IBADAH PUASA



DISUSUN OLEH :
DARUN
NIM: 11182102916

Fakultas Pertanian dan Peternakan
UIN SUSKA RIAU
2012/2013







KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis penjatkan kehadirat Allah SWT, atas rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah yang berjudul “Ibadah Puasa”. Penulisan makalah adalah merupakan salah satu tugas dan persyaratan untuk menyelesaikan tugas mata kuliah FIQIH.
            Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam penyelesaian makalah ini, terutama kepada bapak Arisman, S.Ag., M.Sy selaku dosen pengampu serta teman-teman semua.
            Penyusun menyadari keterbatasan  sebagai manusia. Makalah ini jauh dari kesempurnaan, oleh sebab itu penyusun berharap kritik dan saran yang sifatnya membangun guna perbaikan makalah ini. Akhir kata semoga laporan ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca pada umumnya.



Pekanbaru, Maret 2012


                                                                                                Penulis





DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................ i
DAFTAR ISI.......................................................................................... ii

 
BAB I PENDAHULUAN................................................................................. 1
1.1     Latar Belakang........................................................................... 1
1.2     Rumusan Masalah..................................................................... 3
1.3     Tujuan........................................................................................ 3

BAB II PEMBAHASAN.................................................................................... 4
                 2. 1   Kedudukan Ibadah Puasa Ramadhan...................................... 4
                  2.2  Urgensi Ibadah Puasa............................................................... 11
                  2.3  Permasalahan Sekitar Bulan Puasa…………………………….13
    
               BAB III PENUTUP…………………………………………………….………..17
DAFTTAR PUSTAKA.......................................................................... 18
                         





BAB I
PENDAHULUAN

1.1              Latar Belakang
Puasa merupakan suatu tindakan menghindari makan, minum, serta segala hal lain yang dapat memuaskan hasrat-hasrat psikis maupun fisik yang dilakukan pada masa tertentu. Makna dan tujuannya secara umum adalah untuk menahan diri dari segala hawa nafsu, merenung, mawas diri, dan meningkatkan keimanan terhadap Allah SWT. Salah satu hikmah puasa ialah melatih manusia untuk meningkatkan kehidupan rohani. Nafsu jasmani yang terdapat dalam diri tiap individu harus diredam, dikendalikan, dan diarahkan dengan sungguh-sungguh untuk mencapai tujuan yang mulia. Setiap orang yang menjalankan puasa pada hakekatnya sedang memenjarakan dirinya dari berbagai nafsu jasmani. Puasa juga merupakan salah satu cara untuk meningkatkan taraf kehidupan, baik yang duniawi maupun yang ukhrawi. Karena puasa telah dilakukan di setiap syariat agama, bahkan Allah swt menyandarkan puasa kepada zat Nya. Pada sebuah hadist qudsi dikatakan bahwasanya “Semua amal anak adam itu untuk dirinya sendiri, kecuali puasa. Karena puasa itu dikerjakan untuk-Ku, maka Aku-lah yang akan memberi balasannya”. Puasa merupakan salah satu bentuk ritus agama yang dapat meningkatkan kualitas spiritual manusia dan sebagai wahana pensucian diri guna mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Perintah puasa terdapat pada beberapa surat dalam Al-Qur’an, yaitu: surat Al-Baqarah (183-187), An Nisa’ (92), Al-Maidah (89), Al-Mujadilah (3-4), dan Maryam (26). Anjuran pelaksanaan ibadah puasa juga terdapat pada beberapa Hadist. Pengaruh puasa bagi diri umat Islam, terutama ketika bulan Ramadhan dapat dirasakan oleh fisik maupun jiwa. Hal ini dapat dilihat dari berbagai segi. Dalam segi kesehatan, puasa secara mutlak tidak membahayakan kesehatan, justru sangat bermanfaat. Kalaupun ada yang menemui permasalahan kesehatan pada saat berpuasa, maka permasalahan itu muncul akibat yang bersangkutan termasuk orang yang tidak dibenarkan secara agama maupun medis untuk melakukan puasa atau akibat yang bersangkutan tidak menjaga aturan kesehatan dalam mengkonsumsi makanan.
Pembahasan mengenai ibadah puasa menarik untuk dikaji, mengingat ajaran ibadah puasa terdapat dalam agama islam dan berlaku pada umat-umat terdahulu hingga sekarang. Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk mengkaji permasalahan seputar ibadah puasa.

1.2              Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang di atas, maka permasalahan yang hendak dibahas adalah sebagai berikut:
a.       Kedudukan ibadah puasa ramadhan
b.      Urgensi ibadah puasa
c.       Permasalahan sekitar bulan puasa

1.3              Tujuan Masalah
Tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
a.             Unuk meningkatkan rasa keimanan kita terhadap Allah SWT.
b.            Agar mengetahui bagaimana sikap kita selama menjalankan ibadah puasa.
c.             Memahami dan menambah pengetahuan kita tentang puasa ramadan, Sehingga kita bisa lebih tau dan mengerti apa maksud dan tujuan puasa itu sendiri.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1        Kedudukan Ibadah Puasa Ramadhan
2.1.1  Pengertian Puasa
“saumu” (Puasa), menurut bahasa arab adalah “menahan dari segala sesuatu”, seperti makan, minum, nafsu, menahan berbicara yang tidak bermanfaat dan sebagainya. Menurut istilah agama islam yaitu “Menahan diri dari sesuatu yang membatalkannya, satu hari lamanya, mulai dari terbit fajar sampai terbenam matahari dengan niat dan beberapa syarat”. Firman Allah Swt:
وَكُلُوْا وَاشْرَبُوْا حَتّٰى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ اْلخَيْطُ اْلأَبْيَضُ مِنَ اْلخَيْطِ اْلأَسْوَدِ مِنَ اْلفَجْرِ، .....﴿البقرة:٢:١٨٧﴾
“makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam; yaitu fajar”……… [Al-Baqarah 2:187].[1]
Muhammad ibn Ismail al-kahlani mendefinisikan puasa dengan menahan diri dari makan minum dan hubungan seksual dan lain-lain yang telah diperintahkan menahan diri dari padanya sepanjang menurut cara yang telah ditentukan oleh syara’. Wahbah al-Zuhaili mendefinisikannya dengan menahan diri disiang hari dari segala yang membatalkannya sejak terbit fajar sampai terbenamnya matahari.[2]
Dari beberapa definisi diatas ditarik pengertian umum puasa yaitu suatu ibadah yang diperintahkan Allah kepada hamba-Nya yang beriman dengan cara mengendalikan diri dari syahwat makan, minum dan hubungan seksual serta perbuatan-perbuatan yang merusak nilai puasa pada waktu siang hari sejak terbit fajar sampai terbenamnya matahari.

2.1.2  Hukum Puasa Ramadhan
Para ahli fiqh telah sepakat menetapkan bahwa puasa dalam bulan ramadhan hukumnya wajib. Kewajiban puasa dibulan ramadhan ditetapkan berdasarkan Al-Qur’an. Adapun dasar Al-Qur’an adalah firman Allah sebagai berikut:
تَتَّقُونَ لَعَلَّكُمْ قَبْلِكُمْ مِنْ الَّذِيْنَ عَلَىكُتِبَ كَمَا الصِّيَامُ عَلَيْكُمُ كُتِبَ آمَنُوا الَّذِيْنَ أَيُّهَا يَا
“hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa (QS 2:183).
Dalam sejarah agama-agama di dunia dikatakan bahwa semua agama yang dianut umat manusia mengenal puasa dan menjadikannya sebagai salah satu bentuk ritual. Namun umumnya, pada agama-agama terdahulu puasa dilakukan sebagai tanda berkabung, kemalangan dan duka cita. Artinya yaitu mereka berpuasa pada saat menerima musibah tersebut.[3]
Islam membawa makna baru tentang konsep puasa. Puasa dalam islam bukan pertanda duka cita, kemalangan, kesedihan, dan tanda kemarahan Tuhan. Akan tetapi, puasa mempunyai makna yang mulia dan derajat yang tinggi.
Dasar hukum berupa sunnah Nabi SAW yang artinya sebagai berikut:
Dari Ibn Umar r.a, sesungguhnya Rasulullah saw berkata: “islam dibangun di atas lima pondasi: pengakuan bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad Rasulullah, mendirikan shalat, membayarkan zakat, puasa pada bulan ramadhan,dan haji ke baitullah bagi orang yang mampu. (HR Bukhari dan Muslim).
Sedangkan dasar ijma’ adalah bahwa umat islam telah sepakat atas wajibnya puasaa pada bulan Ramadhan dan puasa dimaksud merupakan salah satu rukun Islam. Orang yang mengingkari kewajibannya dipandang kafir atau murtad.

2.1.3   Hikmah Puasa Ramadhan
Dalam islam tidak ada ibadah yang diperintahkan Allah SWT yang tidak mengandung hikmah. Puasa sebagai ibadah menahan makan dan minum serta hubungan seksual dan bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, mengandung hikmah bagi yang melaksanakannya.
Ibadah puasa, menurut Zakiyah Daradjat, mengandung hikmah terhadap rohani dan jasmani manusia. Hikmah terhadap rohani antara lain aialah melatih rohani agar disiplin mengendalikan dan mengontrol hawa nafsu agar tidak semena-mena memunculkan keinginannya. Puasa mengekang hawa nafsu dengan dengan mengharamkan memakan dan meminum harta miliknya yang tersedia serta melarang menggauli istrinya yang sah disiang hari meskipun nafsunya sudah bergelora untuk menikmatinya. Sebab, bila nafsu dibebaskan tanpa kendali manusia akan menjadi budak hawa nafsu iti sendiri, bila hal itu terjadi maka rohani manusia akan hancur. Allah SWT berfirman dala surat yusuf ayat 53:
رَحِمَ غَفُورٌ رَبِّيَ إِنَّ رَبِّي رَّحِيمٌمَا إِلاَّ بِالسُّوءِ لأَمَّارَةٌ النَّفْسَ إِنَّ نَفْسِي أُبَرِّئُ وَمَا
“Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhan Maha Pengampun Lagi Maha Penyayang”
Yang selanjutnya yaitu hikmah jasmani, ialah bahwa puasa dengan menahan makan dan minum, disamping membangun kekuatan dan ketahanan rohani juga mempertinggi kekuatan dan ketahan jasmani, karena umumnya penyakit yang menghinggapi tubuh manusia itu bersumber dari perut yang menampung semua apa yang dimakan dan diminum.[4]
Hikmah puasa yang lainya adalah sebagai berikut:
1.      Tanda terima kasih kepada Allah, karena semua ibadah mengandung arti terimakasih atas nikmat pemberian-Nya yang tidak terbatas banyaknya
2.      Didikan kepercayaan.
3.      Didikan belas kasihan terhadap fakir miskin.[5]

2.1.4     Rukun Puasa
Mayoritas ahli fiqh menetapkan dua macam yang menjadi rukun puasa, yaitu:
a.    Menahan diri dari segala yang membatalkan sejak terbit fajar sampai terbenamnya matahari. Hal ini berdasarkan firman Allah SWT:                 
لَكُمُ يَتَبَيَّنَ حَتَّىٰوَاشْرَبُوا وَكُلُوا لَكُمْ اللَّهُ كَتَبَ مَا وَابْتَغُوا بَاشِرُوهُنَّ فَالْآنَ..
.اللَّيْلِ إِلَى الصِّيَامَ أَتِمُّوا ثُمَّ الْفَجْرِ مِنَ الْأَسْوَدِ الْخَيْطِ مِنَ الْأَبْيَضُ الْخَيْط
….maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagian benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam….(QS.2: 187).
b.   Niat. Yang dimaksud dengan niat adalah kehendak atau berkeinginan untuk mengerjakan puasa pada esok harinya, dengan sadar dan sengaja yang dilakukan sebelum terbit fajar. Dalam ajaran islam kedudukan niat didalam setiap perbuatan amatlah penting.

2.1.5     Syarat wajib puasa
Para ahli fiqih telah menetapkan beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh seseorang agar dia wajib melaksanakan puasa ramadhan sebagai berikut:
a.       Beragama islam.
Persayaratan islam dapat dipahami dari ayat Al-Qur’an yang memerintahkan berpuasa kepada orang-orang yang beriman kepada Allah SWT sebagaimana disebut dalam Al-Qur’an (QS 2: 183). Berdasarkan ayat itu, orang-orang kafir tidak dituntut untuk melakukan puasa Ramadhan seperti yang dituntut kepada orang islam.
b.      Baligh dan berakal.
Hal ini mengandung arti bahwa anak-anak kecil tidak diwajibkan untuk berpuasa, sedangkan persyaratan berakal mengandung arti bahwa orang gila tidak diwajibkan berpuasa
c.       Kuat berpuasa. Hal ini mengandung arti bahwa orang yang sakit yang mengakibatkan tidak kuat melaksanakan puasa tidak dituntut melaksanakan puasa

2.1.6     Syarat sah puasa
Mazhab Hanafi mensyaratkan 3 hal untuk kesahan puasa, yaitu:
a.       Niat,
b.      Tidak ada hal yang menafikan puasa, baik karena haid maupun nifas, dan
c.       Tidak ada hal yang membatalkan puasa

Mazhab Maliki berpendapat bahwa syarat syah puasa ada 4, yaitu:
a.       Niat,
b.      Suci dari haid dan nifas,
c.       Islam, dan
d.      Waktu yang layak untuk berpuasa, puasa tidak sah dilakukan pada hari raya
Sedangkan Mazhab Syafi’I juga berpendapat bahwa syarat sah puasa ada 4, yaitu:
a.       Islam,
b.      Berakal,
c.       Suci dari haid dan nifas sepanjang siang
d.      Berniat.

Menurut Mazhab Hanbali, syarat sah puasa ada 3, yaitu:
a.       Islam,
b.      Berniat, serta
c.       Suci dari haid dan nifas
Dari uraian diatas, tampaklah bahwa para ulama mazhab sepakat atas pensyaratan niat serta suci haid dan nifas.[6]

2.2        Urgensi Ibadah puasa
2.2.1     Bila mana puasa menjadi wajib
Puasa menjadi wajib kwrena salah satu dari tiga hal berikut:
a.       Nazar, misalnya seseorang bernazar untuk berpuasa satu hari atau satu bulan dengan maksud mendekatkan diri kepada Allah swt. Puasa tersebut menjadi wajib, karena dia telah mewajibkan puasa atas dirinya. Penyebab diwajibkan puasa adlah nazar itu sendiri
b.      Kafarat, yakni tebusan atas maksiat yang telah dilakukan oleh seseorang. Misalnya membunuh karena kesalahan (tidak disengaja), melanggar sumpah, membatalkan puasa ramadhan karena bersetubuh disiang hari.
c.       Menyaksikan sebagian bulan ramadhan, baik malamnya maupun siangnya. Inilah pendapat yang kuat menurut mazhab hanafi. Dengan demikian, penyebab diwajibkannya puasa adalah menyaksikan bulan Ramadhan.
Puasa ramadhan menjadi wajib, baik seseorang melihat hilal-jika langit dalam keadaan cerah-maupun menyempurnakan bulan syakban selama 30 hari-jika langit dalam keadaan mendung.

2.2.2  Cara menetapkan hilal Ramadhan
Mahzab Maliki berpendapat bahwa hilal bulan Ramadhan ditetapkan denga rukyat melalui 3 kesaksian:
a.       Kesaksian yang dilakukan sekelompok orang banyak, meskipun mereka bukan bukan kelompok yang adil.
b.      Kesaksian yang dilakukan oleh dua orang yang adil atau lebih. Dengan kesaksian ke duanya, puasa dan berbuka pada bulan ramadhan menjadi sah adanya, baik langit mendung ataupun cerah. Yang dimaksud dengan orang adil adalah laki-laki yang merdeka, baligh, berakal, tidak melakukan dosa-dosa besar, tidak sering melakukan dosa-dosa kecil dan tidak melakukan tindakan yang merusak harga diri nya.
c.       Kesaksian dilakukan oleh seorang yang adil. Dengan kesaksian ini, puasa dan berbuka pada bulan ramadhan wajib bagi orang yang melihat hilal atau bagi orang yang menerima pemberitahuan darinya.[7]

2.3        Permasalahan Sekitar Bulan Puasa
2.3.1  Hal yang membatalkan puasa
Ahli fiqh membagi hal-hal yang membatalkan puasa kepada dua bentuk, yaitu: sesuatu yang membatalkan dan wajib meng-qadha dan sesuatu yang membatalkan dan wajib meng-qadha dan kaffarat.
Adapun hal-hal yang membatalkan puasa dan wjib meng-qadha nya adalah:
a.       Makan dan minum dengan sengaja.
Seseorang yang sengaja makan dan minum pada siang hari Ramadhan puasanya dinyatakan batal dan wajib menggabtikannya pada hari-hari lain.
b.      Muntah dengan sengaja.
Seseorang yang dalam keadaan puasa kemudian dengan sengaja memuntahkan sesuatu dari perutnya maka puasanya menjadi batal.
c.       Haid dan nifas.
Para ulama telah sepakat menetapkan batalnya puasa seseorang apabila darah haid atau nifasnya keluar, karena suci dari darah haid dan nifas telah disepakati sebagai salah satu syarat syah puasa. Jika syarat ini tidak terpenuhi maka puasanya tidak sah.[8]
d.      Keluar mani dengan sengaja (Karena bersentuhan dengan perempuan dan lainnya). Karena keluar mani itu adalah puncak yang dituju orang pada persetubuhan, maka hukumnya disamakan dengan bersetubuh. Oleh karena itu puasanya akan batal, tetapi jika keluar mani karena bermimpi puasa tersebut tidak batal.
e.       Gila.
Sedangkan yang termasuk hal-hal yang membatalkan puasa dan mewajibkan qadha dan kafarat menurut jumhur fukaha hanyalah melakukan hubungan seksual disiang hari ramadhan.

2.3.2        Orang-orang boleh berbuka pada saat puasa
Orang-orang yang diperbolehkan berbuka pada bulan ramadhan adalah sebagai berikut:
a.       Orang yang sakit apabila tidak kuat berpuasa, atau bila berpuasa sakitnya akan bertambah parah atau akan melambatkan sembuhnya penyakit tersebut. Maka orang tersebut boleh berbuka, dan ia wajib mengganti apabila sudah sembuh, sedangkan waktunya adalah sehabis bulan puasa nanti.
b.      Orang dalam perjalanan jauh (80,640 km) boleh berbuka dan wajib mengqadha puasa yang ditinggalkannya itu.
Firman Allah dalam surat Al-Baqarah: 185
وَمَنْ كَانَ مَّرِيْضًا اَوْ عَلىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةً مِّنْ اَيّاَمٍ اُخَر              
" dan barang siapa yang sakit atau dalam bepergian[musafir]~maka bolehlah ia berbuka~dan mengganti di hari hari yang lain[sebanyak yang ditinggalkany. [QS.Albaqoroh:185].
c.       Orang tua yang sudah lemah, tidak kuat lagi karena tuanya, atau karena lemah fisiknya. Maka ia boleh berbuka dan wajib membayar fidyah (bersedekah) tiap hari ¾ liter beras atau sama dengan itu (makanan yang mengenyangkan) kepada fakir miskin.
d.      Orang yang hamil dan orang yang menyusui anak, kedua perempuan tersebut, kalau takut akan menjadi mudarat kepada dirinya sendiri atau beserta anaknya, boleh berbuka dan mewajibkan mengqadha sebagaimana orang sakit.

2.3.3        Sunat Puasa
a.       Menyegerakan berbuka apabila telah nyata bahwa matahari sudah terbenam
b.      Berbuka dengan kurma, sesuatu yang manis atau dengan air.
c.       Berdoa sewaktu berbuka puasa
d.      Makan sahur sesudah tengah malam
e.       Memberikan makanan untuk berbuka kepada orang yang berpuasa
f.       Memperbanyak baca al-qur’an.[9]

2.3.4        Ha-hal yang dimubahkan dalam berpuasa
a.       Menyelam ke dalam air, mandi dan membasahhkan kepala dengan syarat tidak sampai ke dalam perut, jika air sampai masuk ke dalam perut, maka puasanya akan batal
b.      Meneteskan sesuatu ke dalam mata, baik menimbulkan rasa ke dalam ke dalam kerongkongan, ataupun tidak, karena mata itu bukan lobang ke dalam perut.
c.       Berkumur-kumur dan menghirup air ke hidung. Hanya dimakruhkan mubalaghah saja (terlalu mendalamkan kumur-kumurannya)
d.      Dibolehkan bagi orang-orang yang berpuasa memasuki waktu subuh dalam keadaan berjunub
e.       Orang yang berhaid dan benifas, apabila berhenti darahnya dimalam hari, boleh ia mentakhirkan mandi hingga subuh, kemudian ia mandi untuk shalat.[10]

BAB III
PENUTUP

Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa:
1.      Puasa yaitu suatu ibadah yang diperintahkan Allah kepada hamba-Nya yang beriman dengan cara mengendalikan diri dari syahwat makan, minum dan hubungan seksual serta perbuatan-perbuatan yang merusak nilai puasa pada waktu siang hari sejak terbit fajar sampai terbenamnya matahari.
2.      Puasa pada bulan ramadhan adalah hukumnya wajib dan merupakan bagian dari rukun islam.
3.      Hikmah puasa ramadhan: Mendidik jiwa agar dapat menguasai diri, mendidik nafsu agar tidak senantiasa dimanjakan dan dituruti, dan mendidik jiwa untuk dapat memegang amanat dengan sebaik-baiknya.




DAFTAR PUSTAKA

Al-Zuhayly,Wahbah.2005.Al-Fiqihal-Islamwa-Adillatuh.Remaja Rosdakarya.Bandung

Rasyid, Sulaiman.1994.Fiqih Islam.Sinar Baru Algensindo.bandung

Ritonga, rahman, Zainudin.1997.Fiqih Ibadah.Gaya Media Pratama. Jakarta

Shiddieqy,Hasbi Ash.1993.PEDOMAN PUASA.Bulan Bintang.Jakarta



[1] H. Sulaiman Rasyid, (FIQIH ISLAM, 1994) hal: 220
[2] Dr. Zainudin MA, (FIQIH IBADAH, 1997) hal: 151
[3] Dr. Zainudin MA, (FIQIH IBADAH, 1997) hal: 152
[4] Dr. Zainudin MA, (FIQIH IBADAH, 1997) hal: 153-154
[5] H. Sulaiman Rasyid, (FIQIH ISLAM, 1994) hal: 243
[6] Dr. Wahbah Al-Zuhayly, (PUASA DAN ITIKAF, 2005) hal: 169-170
[7] Dr. Wahbah Al-Zuhayly, (PUASA DAN ITIKAF, 2005) hal: 144
[8] Dr. Zainudin MA, (FIQIH IBADAH, 1997) hal: 160-162
[9] H. Sulaiman Rasyid, (FIQIH ISLAM, 1994) hal: 238-240
[10] Prof. Dr. TM. Hasbi Ash Shiddieqy, (PEDOMAN PUASA, 1993) hal: 119-123

1 komentar: